tirto.id
- “Siapa di antara anak-anak desa ini mendapat kesempatan merajai
lautan seperti di zaman Majapahit dulu? Menyaksikan dunia besar?
Dihormati dan disegani di mana-mana? Di Tumasik, Benggal, Ngabesi,
Malagasi, sampai Tanjung Selatan Wulungga sana? Tak pernahkah orangtua
kalian bercerita semacam itu maka hatimu jadi sakit karena kebebalan
sendiri?”
Demikian Rama Cluring berkhotbah di hadapan penduduk
Awis Krambil, sebuah desa di pedalaman Tuban. Mereka yang mendengar
barangkali mencibirnya sebagai pendongeng, bahkan pembual. Tapi orang
tua itu terus saja berkoar, mengungkit-ungkit kejayaan Kerajaan
Majapahit yang sudah tinggal kenangan.
“Ah, zaman silam!
Kapal-kapal megah yang mampu membawa ratusan prajurit begitu, dan
perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapal-kapal semacam itu
masih ada dan sebanyak dulu, tak bakal ada kapal Parsi, Arab, dan
Benggala berkeliaran ke mari,” kenang Rama Cluring.
Kemaharajaan
Majapahit yang pernah menguasai Nusantara itu memang telah bubar. Raden
Patah—konon keturunan pemimpin Majapahit terakhir—mendirikan Kesultanan
Demak, kerajaan Islam yang menguasai Jawa menjelang berakhirnya periode
Hindu-Budha
Seruan Rama Cluring itu termaktub dalam
Arus Balik (1995) yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.
Arus Balik
memang bukan karya ilmiah, buku ini adalah sebuah novel atau roman.
Meski berformat fiksi, Pramoedya berpijak kepada fakta-fakta sejarah
hasil temuan para ahli.
Dua puluh tiga tahun setelah Pramoedya
menerbitkan novel yang mengisahkan keruntuhan Majapahit itu, Prabowo
Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang digadang-gadang
menjadi calon presiden 2019, mengemukakan prediksi tentang bubarnya
negara Indonesia. Pernyataan itu bersumber dari sebuah novel fiksi yang
bersifat ramalan dan bukan berdasarkan fakta sejarah.
"Saudara-saudara," katanya dalam sebuah pidato yang ditayangkan di laman Facebook Partai Gerindra "Kita masih upacara. Kita masih menyanyikan lagu kebangsaan. Kita masih
pakai lambang-lambang negara. Gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di
sini, tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian di mana
Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030."Seperti dilansir
Antara, Prabowo
mengklaim sumber pernyataannya adalah prediksi para ahli dari luar
negeri. "Jadi itu ada tulisan dari luar negeri. Banyak pembicaraan
seperti itu di luar negeri," kata Prabowo Subianto seusai menjadi
pembicara kunci dalam acara Wadah Global Gathering di Jakarta, Kamis
(22/3/2018).
Tulisan yang dirujuk Prabowo adalah novel karangan P.W. Singer dan August Cole berjudul
A Novel of the Next World War: Ghost Fleet (2015). Baik Singer maupun Cole memang ilmuwan politik.
Cole menguasai kebijakan luar negeri dan strategi keamanan AS, sementara
Singer adalah pakar pertahanan yang pernah bekerja di lembaga
think tank Brookings Institution.
Negara Terbesar di Nusantara
Seperti kisah Pramoedya lewat Rama Cluring melalui
Arus Balik, Majapahit memang pernah menjadi imperium adidaya. M.C. Ricklefs dalam
Sejarah Indonesia Modern (1991),
misalnya, menyebut Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang
menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu negara terbesar
dalam sejarah Indonesia (hlm. 19).
Majapahit didirikan Raden
Wijaya (1293-1309) di Jawa Timur pada 1293. Semula, pusat pemerintahan
kerajaan ini berlokasi di Mojokerto, kemudian digeser ke Trowulan oleh
Jayanegara (1309-1328) sebelum beribukota di Kediri sejak era
Girindrawardhana (1456-1466).
Majapahit mencapai masa keemasan pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk
alias Rajasanagara (1350-1389), yang didampingi oleh panglima besar
legendaris, Mahapatih Gajah Mada, yang mengucap Sumpah Palapa demi
ambisi “menyatukan” Nusantara. Kala itu, wilayah Majapahit dikisahkan
amat luas.
Dalam
Sejarah Nasional Indonesia Jilid II (1990),
dituliskan bahwa wilayah Majapahit meliputi Jawa, Bali, Sumatera,
Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur, termasuk Nusa Tenggara,
Sulawesi, Maluku, bahkan Papua (hlm. 436). Detilnya memang masih menjadi
perdebatan, namun setidaknya itulah yang tecatat dalam
Nagarakertagama.
Berkat Gajah Mada sebagai panglima tertinggi sekaligus tangan kanan Raja Hayam Wuruk, masih menurut
Negarakertagama seperti dikutip dari buku
Dinamika Islam Filipina, Burma, dan Thailand karya Choirul Fuad Yusuf (2013), tidak kurang dari 98 kerajaan yang bernaung di bawah kuasa Majapahit (hlm. 25).
.
Pengaruh
dan ekspansi Majapahit sampai pula ke negeri-negeri seberang di kawasan
Asia Tenggara, dari Semenanjung Malaya (Malaysia dan Brunei
Darussalam), Tumasik (Singapura), serta sebagian Thailand dan Filipina,
berkat armada angkatan lautnya yang luar biasa.
Gejala Kemunduran
Kematian Gajah Mada pada 1364 menjadi awal redupnya kejayaan Majapahit.
Belum dapat dipastikan penyebab wafatnya sang mahapatih. I Ketut Riana
dalam
Kakawin Desa Warṇnana, Uthawi, Nagarakṛtagama (2009)
menyebutkan bahwa pada 1363, sepulang dari kunjungannya ke Candi Simping
di Blitar, Hayam Wuruk mendapati Gajah Mada sedang sakit (hlm. 45).
Hayam
Wuruk amat terpukul dengan mangkatnya Gajah Mada. Ia sangat berutang
budi dan menghormati sosok yang membawa Majapahit mencapai puncak
keemasan itu. Maka, Hayam Wuruk tidak menunjuk mahapatih baru. Ia
menganggap tidak ada yang mampu menggantikan Gajah Mada.
Posisi mahapatih dipegang Hayam Wuruk sendiri. Dalam melakukan tugas yang berat itu, sebagaimana dicatat Slamet Muljana dalam
Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit
(1983), ia dibantu oleh raja-raja lain di bawah kekuasaan Majapahit,
juga oleh Sang Arya sebagai perdana menteri, serta dua penasihatnya, Mpu
Nandi dan Mpu Nala (hlm. 205).
Ternyata, kehilangan Gajah Mada
berdampak besar. Stabilitas wilayah Majapahit yang amat luas beranjak
goyah. Beberapa wilayah taklukan yang tersebar luas di Nusantara dan
Asia Tenggara mulai memercikkan perlawanan untuk berupaya melepaskan
diri.
Pada 1389, Hayam Wuruk meninggal dunia dan kian mempertegas takdir pudarnya kemilau Majapahit. Slamet Muljana dalam
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara
(2005) menceritakan polemik dalam proses suksesi raja baru.
Perselisihan keluarga itu semakin memperlemah kedudukan Majapahit (hlm.
20).
Maka, pecahlah Perang Paregreg antara Wikramawardhana
(1389-1429) yang mengklaim sebagai penerus takhta Majapahit melawan Bhre
Wirabhumi. Wikramawardhana adalah suami putri Hayam Wuruk dari
permaisuri, Kusumawardhani, sementara Bhre Wirabhumi merupakan putra
Hayam Wuruk dari istri selir.
Dikutip dari Pranoedjoe Poespaningrat dalam
Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan: Dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru
(2008), perang saudara ini menjadi salah satu faktor utama kemunduran
Majapahit, selain tidak adanya pemimpin yang kuat setelah Hayam Wuruk,
juga berkembangnya Islam di Jawa (hlm. 16).
Majapahit Bubar
Penerus Wikramawardhana adalah Ratu Suhita dengan gelar Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447). Menurut R. Soekmono dalam
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2
(2002), Ratu Suhita berusaha membangkitkan kembali anasir-anasir
Nusantara seperti yang pernah dilakukan Hayam Wuruk. Salah satu cirinya
dengan membangun berbagai tempat pemujaan seperti candi atau punden
berundak (hlm. 78).
Setelah era Ratu Suhita, masih ada tujuh raja
lagi yang memimpin Majapahit, yakni Kertawijaya atau Brawijaya I
(1447-1451), Rajasawardhana atau Brawijaya II (1451-1453), Purwawisesa
atau Brawijaya III (1456-1466), Suraprabhawaatau Brawijaya IV
(1466-1468), Bhre Kertabumi atau Brawijaya V (1468-1478),
Girindrawardhana atau Brawijaya VI (1478-1498).
Namun
masa-masa jaya ternyata sudah tidak bisa terulang kembali. Tidak ada
lagi raja yang secakap Hayam Wuruk, juga mahapatih yang secemerlang
Gajah Mada. Bahkan, Majapahit sempat mengalami kekosongan kepemimpinan
selama tiga tahun, antara 1453 hingga 1456.
Munculnya Kesultanan
Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, sejak 1475 membuat Majapahit kian
merana. Demak menandai perubahan besar dalam periode sejarah Nusantara,
terutama di tanah Jawa, yakni berakhirnya era Hindu-Buddha digantikan
dengan masa Islam.
Kesultanan Demak lahir saat Majapahit
diperintah oleh Brawijaya V. Pendirinya, Raden Patah, disebut-sebut
adalah putra raja Majapahit dari istri selir, perempuan Cina bernama Siu
Ban Ci. Raden Patah kecewa terhadap ayahnya karena takluk kepada
Girindrawardhana yang kemudian merebut kekuasaan Majapahit, bergelar
Brawijaya VI.
Girindrawardhana sendiri sebenarnya menantu
Brawijaya V atau ipar Raden Patah. Namun, Girindrawardhana justru
mengkudeta takhta ayah mertuanya itu. Situasi ini membuat peluang Raden
Patah untuk menjadi raja Majapahit berikutnya pun pupus.
Raden
Patah yang marah kemudian mendirikan kerajaan sendiri di Jawa bagian
tengah yaitu Kesultanan Demak, dengan dibantu oleh tokoh-tokoh pendakwah
Islam atau Walisongo. Raden Patah adalah seorang muslim karena
sebelumnya
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya, bahkan diambil sebagai menantu (Muljana, 2005: 4)
Belum ditemukan bukti-bukti kuat Kesultanan Demak di bawah pimpinan
Raden Patah (1500-1518) pernah menyerang Majapahit. Tampaknya, Raden
Patah sudah merasa bahwa usia Majapahit tidak akan sanggup bertahan
lebih lama lantaran perkembangan situasi yang tidak lagi menguntungkan.
Brawijaya
VI kemudian ditelikung dan mati dibunuh oleh ajudannya yang bernama
Patih Udara pada 1498. Majapahit diambil-alih, Patih Udara naik takhta,
dan
menggelari dirinya sebagai Brawijaya VII.
Sementara
itu, pengaruh Islam bertambah kuat, berbanding terbalik dengan pamor
Majapahit dan Brawijaya VII yang kian merosot. Semakin banyak daerah
taklukan yang melawan dan melepaskan diri. Sejalan dengan itu, semakin
banyak pula orang Jawa yang memeluk Islam.
Raden Patah wafat pada
1518. Penerusnya, Pati Unus, tewas tiga tahun berselang dalam suatu
penyerbuan terhadap Portugis di Malaka. Dan yang mengakhiri riwayat
panjang Majapahit adalah pemimpin Kesultanan Demak ke-3, Sultan
Trenggana, pada 1527. Demak kemudian mengakuisisi wilayah-wilayah
taklukan Majapahit yang masih tersisa.
Meski pesatnya Islam di Jawa bukan satu-satunya, bahkan bukan faktor
utama, runtuhnya Majapahit, itulah yang memungkasi riwayat kerajaan
yang pernah amat digdaya itu. Sebuah imperium bernama Majapahit akhirnya
benar-benar bubar setelah bertahan selama lebih dari 230 tahun.
(Penulis: Iswara N Raditya)